Gibahin.id – Sorotan terhadap pengungsi warga etnis Rohingya membuka babak baru dilema kemanusiaan di Indonesia. Dari konflik di Myanmar Aceh, kita berhadapan dengan kenyataan haruskah pintu hati terus terbuka bagi pengungsi warga etnis Rohingya?
Jejak Konflik
Konflik Rohingya di Myanmar berakar pada perbedaan agama dan status kewarganegaraan antara etnis Rohingya yang mayoritas beragama Islam dan sebagian besar penduduk Myanmar yang beragama Buddha. Pemicu utama konflik adalah foto forensik pembunuhan perempuan etnis Rakhine oleh pemuda Rohingya, memicu kemarahan kelompok progresif biksu dan masyarakat Rakhine terhadap Rohingya.
Diskriminasi semakin memburuk dengan penolakan status kewarganegaraan oleh pemerintah Myanmar berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan 1982 yang menganggap Rohingya sebagai imigran gelap dari Bangladesh. Tindakan diskriminatif ini menciptakan kondisi yang memicu pemberontakan, persekusi, dan pelanggaran HAM, termasuk pembunuhan, penyiksaan, dan perusakan tempat ibadah.
Ketidakamanan yang terus meningkat mendorong etnis Rohingya untuk mengungsi dalam jumlah besar untuk mencari perlindungan di berbagai wilayah dan melintasi berbagai negara. Keadaan ini mencerminkan serangkaian pelanggaran HAM yang patut disebut sebagai bentuk tindakan genosida oleh Pemerintah Myanmar, sesuai dengan definisi dalam Article 6 Statuta Roma.
ADVERTISEMENT
Terkatung-Katung di Lautan
Jejak kedatangan warga etnis Rohingya di Aceh sudah terekam sejak 2015. Di Aceh, terdapat hukum adat peumulia jamee (pemuliaan tamu) dan adat meulaot yang bermakna wajib memberikan pertolongan bagi siapapun yang mengalami keadaan darurat di laut. Hukum adat tersebut yang kemudian menjadi alasan bagi warga Aceh untuk menolong pengungsi warga etnis Rohingya yang terkatung-kantung di lautan.
Hal ini juga dipertegas dalam Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 Tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri (Perpres 125/2016) yang mengatur tentang mekanisme perlindungan dan penanganan pengungsi yang teridentifikasi di wilayah Indonesia.
Selama di Aceh, warga etnis Rohingya diberi makan dan ditempatkan pada tempat penampungan yang disediakan oleh pemerintah Provinsi Aceh. Ini menyebabkan kedatangan warga etnis Rohingya terus meningkat dari tahun ke tahun. Fasilitas dan keramahan yang diberikan oleh pemerintah setempat membuat para pengungsi Rohingya saling berbagi informasi kepada keluarga mereka untuk bergabung dan datang ke Indonesia melalui perjalanan laut.
Dampaknya, gelombang pengungsi etnis Rohingya terus berlanjut ke Provinsi Aceh. Namun, warga etnis Rohingya memanfaatkan simbol-simbol Islam untuk mendapatkan simpati dari masyarakat Aceh yang didominasi beragama Islam. Seiring waktu timbullah perubahan-perubahan sikap akibat pergesekan sosial dengan warga lokal Aceh. Kasus-kasus seperti pertengkaran dengan warga lokal, melarikan diri, dan keluhan mengenai fasilitas pengungsian mulai terjadi.
Kemudian, adanya kemungkinan datangnya gelombang kedatangan pengungsi yang lebih besar menghantui masyarakat Aceh karena menimbulkan kekhawatiran baru akan potensi ketegangan sosial, persaingan sumber daya, beban fasilitas umum, dan ketidakpastian keamanan.
Lemahnya Pengawasan Kelautan
Gelombang bertambahnya kedatangan warga etnis Rohingya menimbulkan dugaan kuat terkait aktivitas penyelundupan manusia (people smuggler). Ini terjadi karena kemudahan mereka untuk memasuki perairan Indonesia menggunakan perahu kecil tanpa terdeteksi oleh TNI Angkatan Laut.
Padahal, dalam Pasal 61 Undang-Undang Nomor 32 tentang Kelautan, pemerintah membentuk Badan Keamanan Laut (Bakamla) untuk bertugas melakukan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia. Dalam menunjang tugasnya, Bakamla mempunyai otoritas yang kuat dalam penindakan dan pengawasan patroli laut secara menyeluruh.
Namun, kemudahan pengungsi warga etnis Rohingya mendarat ke daratan Indonesia tersebut membuktikan bahwa lemahnya pengawasan kelautan dan kurangnya upaya patroli laut yang ketat. Demikian, kelemahan dalam pelaksanaannya menyebabkan pengungsi Rohingya yang terombang-ambing di lautan baru dapat terdeteksi setelah kapal yang mereka gunakan telah merapat ke pinggir pantai. akibatnya, kurangnya antisipasi dan pencegahan juga memperkuat jaringan mafia tindak pidana penyelundupan orang (TPPO) dalam menjalankan kegiatan ilegal mereka.
Tanggung Jawab Internasional
Di hadapan penolakan dan konflik sosial di Aceh terkait pengungsi warga etnis Rohingya, masyarakat internasional memberikan respons melalui berbagai pihak. UNHCR memainkan peran penting dengan memberikan sertifikat pengungsi kepada warga etnis Rohingya untuk menjamin perlindungan secara hukum bagi Rohingya untuk menghindari penindakan sebagai imigran ilegal sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 ayat (1) Perdirjen Imigrasi 2010.
Selain itu, UNHCR juga menanggung biaya makan serta kebutuhan sehari-hari pengungsi. Meskipun UNHCR memiliki peran vital, keterbatasan kewenangan mereka menggarisbawahi pentingnya kerja sama dengan negara suaka. Di sini, Indonesia memiliki tanggung jawab dan peran aktif dalam menangani urusan pengungsian.
Sementara itu, ASEAN, sebagai aliansi negara-negara Asia Tenggara, mendapat tekanan untuk berperan sebagai pelopor penyelesaian konflik di Myanmar. Namun, prinsip non-intervensi yang dianut oleh ASEAN menjadi kendala, membatasi langkah-langkah konkret dalam menangani akar permasalahan. Meskipun konflik etnis Rohingya melibatkan isu kemanusiaan, prinsip menghormati kedaulatan Myanmar membatasi respons ASEAN.
Kesulitan timbul karena Myanmar menyatakan bahwa etnis Rohingya bukan bagian dari warga negaranya sehingga memunculkan pertanyaan apakah ASEAN dapat melakukan intervensi berdasarkan prinsip responsibility to protect dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia.
Indonesia Belum Meratifikasi Konvensi Internasional 1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi
Faktanya, Indonesia belum meratifikasi Konvensi Internasional 1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi. Namun, pemerintah Indonesia secara yuridis terikat pada prinsip non refoulement yang dijelaskan dalam konvensi tersebut. Prinsip ini melarang pengiriman balik pengungsi ke negara asal, jika itu dapat membahayakan keselamatan mereka. Ini telah menjadi bagian dari hukum kebiasaan internasional (customary law).
Dukungan dari masyarakat Aceh dan kepedulian pemerintah daerah dan pusat, serta didukung oleh UNHCR, telah menjadikan penanganan para pengungsi warga etnis Rohingya hampir selalu terjamin. Namun, penting untuk diakui bahwa baik pemerintah maupun masyarakat memiliki batasan kesabaran dan kapasitas, terutama mengingat kenyataan lapangan di mana pencari suaka Rohingya seringkali tidak dapat tinggal dalam penampungan untuk waktu yang lama.
Mempertanyakan Kemanusiaan
Pilihan bagi warga etnis Rohingya untuk kembali ke Myanmar dengan situasi konflik yang tidak stabil tidaklah tepat. Sementara bergantung pada negara lain tidak menjamin penerimaan sepenuhnya dari masyarakat lokal. Tuntutan kemanusiaan untuk perlindungan, tempat tinggal, sandang pangan, dan fasilitas kesehatan tetap menjadi prioritas tak terelakkan.
Meskipun rakyat Aceh dan masyarakat Indonesia tidak sepenuhnya lapang menerima, tetapi untuk mengirim kembali warga etnis Rohingya kembali ke lautan bukanlah solusi yang diinginkan. Di sisi lain, pemerintah dan masyarakat Indonesia memiliki keterbatasan kapasitas dan batas kesabaran.
Indonesia dihadapkan pada kenyataan untuk mematuhi hukum internasional, termasuk penanganan pengungsi etnis Rohingya. Melalui ratifikasi 98 ayat (1) The United Nations Convention on the Law of the Sea(UNCLOS) dan bab dua Annex International Convention on Maritime and Search Rescue (Konvensi SAR) khususnya pada paragraf 2.1.1, Indonesia tunduk pada kewajiban hukum memberikan bantuan penyelamatan kepada kapal-kapal dalam keadaan darurat di laut.
Sebagai jus cogens, norma-norma ini diakui secara universal oleh masyarakat internasional. Oleh karena itu, kehadiran warga Rohingya di Indonesia menimbulkan dilema antara kemanusiaan dan tanggung jawab sebagai anggota masyarakat internasional yang terikat oleh norma-norma ini.
Berdasarkan hal tersebut, perbuatan yang dilakukan oleh etnis Rohingya merupakan perbuatan yang tak bisa dibenarkan. Namun, dengan menghukum mereka dengan mengembalikan ke tanah asalnya juga bukan merupakan solusi yang tepat. Pertanyaan selalu terbuka apakah pintu hati kita harus terus terbuka bagi mereka, masih menjadi masalah yang perlu ditemukan solusinya.