Jakarta – Jaksa menghadirkan staf General Affair PT Refined Bangka Belitung (PT RBT), Adam Marcos, sebagai saksi kasus dugaan korupsi pengelolaan timah. Adam mengakui adanya 456 transaksi dengan total Rp 183 miliar yang dilakukan dengan PT Timah Tbk terkait pembelian bijih timah.
Marcos bersaksi untuk terdakwa Harvey Moeis, yang mewakili PT RBT, Suparta selaku Direktur Utama PT RBT sejak 2018, dan Reza Andriansyah selaku Direktur Pengembangan Usaha PT RBT sejak 2017 di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (12/9/2024).
Mulanya, Marcos mengatakan dirinya diminta Suparta untuk membantu PT Timah mewakili PT RBT. Kemudian, Marcos bertemu dengan pihak PT Timah dan melakukan pengecekan penambangan di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah. Perbantuan itu berupa pembinaan penambang ilegal di IUP PT Timah yang meminta pembayaran pembelian bijih timah dilakukan secara cash.
“Saudara diberi uang oleh Pak Suparta untuk modal tadi itu kan, Pak, untuk katanya membina?” tanya ketua majelis hakim Eko Aryanto.
“Membina penambang liar yang di IUP PT Timah,” jawab Marcos.
Marcos mengaku diberi modal oleh Suparta senilai Rp 11,5 miliar. Uang itu digunakan untuk membantu peningkatan produksi PT Timah melalui pembinaan dan pembelian bijih timah dari penambang.
“Rp 1,5 miliar kemudian berapa?” tanya hakim.
“Rp 10 (miliar),” jawab Marcos.
“Terus berapa lagi?” tanya hakim.
“Udah,” jawab Marcos.
Dia mengakui ada transaksi dengan PT Timah sebanyak 456 transaksi senilai Rp 183 miliar. Transaksi itu dilakukan PT Timah dengan Marcos terkait pembelian bijih timah.
“Apa benar ini April sampai Desember (2018)? Ini kan data tadi ini, data yang saya ditunjukkan tadi ada 456 apa ya ini, bisa dibilang transaksi atau apa ini?” tanya hakim.
“Benar, Yang Mulia,” jawab Marcos.
“Senilai Rp 183 miliar?” tanya hakim.
“Benar, Yang Mulia,” jawab Marcos.
Marcos mengaku melakukan pembayaran dari PT Timah itu ke kolektor bijih timah. Dia menuturkan kolektor bijih timah berbentuk CV dan penambang perseorangan.
“Dari situ kemudian mengumpulkan dari penambang? Ada penambang liar dan ada penambang IUP PT Timah? Seperti itu?” tanya hakim.
“Iya,” jawab Marcos.
“Kemudian yang Rp 183 (miliar) tadi itu yang membayarkan siapa? Kan harga pembelian PT Timah? Ya? Saudara tahu?” tanya hakim.
“Saya, Yang Mulia,” jawab
“Jadi oleh PT Timah itu dibayarkan ke siapa?” tanya hakim.
“Dari PT Timah,” jawab Marcos.
“Kolektor?” tanya hakim.
“Kolektor,” timpal Marcos.
“Saudara tadi menyebutkan kolektor bisa CV bisa perseorangan?” tanya hakim.
“Iya,” jawab Marcos.
Marcos sempat terdiam saat hakim mendalami CV yang menerima pembayaran pembelian bijih timah tersebut. Hakim menegur Marcos agar berkata jujur karena bisa ikut menjadi terdakwa lantaran sudah disumpah di awal persidangan.
“CV itu CV apa?” tanya hakim.
“Udah Saudara di sini ada keterangannya, Saudara sudah saya ingatkan ya Saudara harus memberikan keterangan yang benar karena sudah disumpah. Kalau enggak, Saudara nanti duduk di situ juga,” tegur hakim.
“Maaf, Yang Mulia,” jawab Marcos.
“Loh. enggak. Ceritakan apa adanya,” timpal hakim.
“Iya,” jawab Marcos.
Marcos mengatakan pembayaran dilakukan ke CV Bangka Karya Mandiri. Dia menyebutkan pembayaran juga dilakukan ke banyak penambang secara perorangan.
“Ini sudah diliat nasional ya, Pak, ya, ini BUMN uang negara, coba jelaskan, CV dan perorangan?” tanya hakim.
“CV dan perorangan,” jawab Marcos.
“Oleh PT Timah dikirim ke CV ya?” tanya hakim.
“Iya,” jawab Marcos.
“Sebutkan CV, CV-nya CV apa aja?” tanya hakim.
“Bangka Karya Mandiri,” jawab Marcos.
Hakim lalu mendalami keuntungan yang diperoleh terkait jual beli bijih timah tersebut. Namun Marcos mengaku tak tahu.
“Tadi Saudara menerima uang dari Terdakwa Suparta Rp 1,5 (miliar) dan Rp 10 (miliar). Kemudian, dapat keuntungan berapa? Masa, cuman nyebar duit gitu doang? Emangnya Menteri Sosial? Kan gitu,” kata hakim.
“Kalau saat yang pertama-tama itu, Yang Mulia, kan rugi karena ada beda SN yang PT Timah SN-nya turun gitu,” jawab Marcos.
“Saya nggak ngomong ruginya ya. Saudara sekarang untungnya berapa?” tanya hakim.
“Saya tidak tahu, Yang Mulia, kalau yang setelah itu balik lagi buat putaran lagi. Jadi saya nggak tahu sampai akhirnya untung atau rugi, saya tidak tahu, Yang Mulia,” jawab Marcos.
Berdasarkan surat dakwaan jaksa penuntut umum, kerugian keuangan negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini mencapai Rp 300 triliun. Penghitungan itu didasari laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara di kasus timah yang tertuang dalam nomor PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei.
“Bahwa akibat perbuatan Terdakwa Suranto Wibowo bersama-sama Amir Syahbana, Rusbani alias Bani, Bambang Gatot Ariyono, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, Emil Ermindra, Alwin Albar, Tamron alias Aon, Achmad Albani, Hasan Tjhie, Kwan Yung alias Buyung, Suwito Gunawan alias Awi, m.b. Gunawan, Robert Indarto, Hendry Lie, Fandy Lingga, Rosalina, Suparta, Reza Andriansyah, dan Harvey Moeis sebagaimana diuraikan tersebut di atas telah mengakibatkan kerugian Keuangan negara sebesar Rp 300.003.263.938.131,14,” ungkap jaksa saat membacakan dakwaan Harvey di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (24/8).