Puluhan jurnalis di Semarang ramai-ramai menggembok Kantor DPRD Jawa Tengah (Jateng) pada Kamis (30/5/2024) pukul 16.00 WIB. Aksi simbolis itu dilakukan sebagai bentuk protes penolakan keras RUU Penyiaran yang proses pembahasan dilakukan secara diam-diam oleh DPR RI tanpa melibatkan jurnalis dan elemen masyarakat lainnya.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang, Aris Mulyawan menilai, RUU tersebut sangat merugikan pers dan publik karena melarang pembuatan produk jurnalistik investigasi. “Ini adalah bentuk pemberangusan kebebasan pers, kebebasan berekspresi dan demokrasi di negeri ini.
Jurnalis sebagai pilar keempat demokrasi ini ketika ada larangan seperti ini terancam. Maka demokrasi di negeri ini dalam kondisi tidak baik-baik saja. Maka melalui aksi ini kami menolak RUU penyiaran itu. Bukan ditunda tapi menolak, sudah batalkan, tidak usah dilanjutkan,” tegas Aris di sela-sela aksi.
Aksi penggembokan itu dilanjutkan dengan ritual penaburan bunga oleh salah seorang jurnalis lepas, Riska Farasonalia di sekeliling gerbang DPRD Jateng. Aksi itu menanggapi pembahasan RUU tersebut berarti kematian bagi pers. Semua jurnalis sepakat bila produk jurnalisme investigasi ini sangat penting sebagai bentuk kontrol sosial dan pemerintahan.
“Ketika investigasi itu dilarang. Padahal investigasi itu untuk membongkar kejahatan, membongkar korupsi, dan lain sebagainya. Berarti yang menjadi pertanyaan kita ada apa? kenapa sampe ini dilarang?” ungkapnya.
Kawal dan terus menolak RUU Penyiaran Para jurnalis justru semakin mempertanyakan motif DPR RI di balik pengebutan RUU Penyiaran itu. Aris khawatir RUU ini justru digunakan untuk menutupi kasus yang melibatkan anggota dewan dan pemerintah.
“Investigasi adalah mahkota bagi jurnalis. Produk jurnalistik tertinggi itu kan investigasi, karena itu adalah mengungkap kasus. Ketika investigasi dilarang berarti ada kasus yang ditutup-tutupi oleh mereka,” tegas Aris.
Dia menambahkan, bila pemerintah serius ingin memperbaiki kualitas penyiaran di Indonesia, mestinya revisi itu tidak dilakukan dengan serampangan tanpa melihat kebutuhan yang sesungguhnya. “Revisi itu revisi yang seperti apa? Kan kita harus melihat juga kan. Karena asal revisi itu berbahaya.
Makanya kan kita harus melihat apa yang perlu direvisi,” tambahnya. Apalagi berbagai pihak serta pakar yang membidangi RUU Penyiaran sama sekali tidak dilibatkan. Lebih lanjut, AJI, PWI, IJTI dan sederet pers mahasiswa yang turun dalam aksi unjuk rasa itu akan terus mengawal sampai RUU Penyiaran dibatalkan oleh pemrintah.
“Kami tetap akan mengawal, memantau dewan apakah akan dilanjutkan apa tidak. Pokoknya kita akan berjuang terus bersama semua elemen masyarakat sipil. Semua organisasi jurnalis untuk menolak ini sampai menang,” tandasnya.