Amnesty International Mendesak Evaluasi Serius atas Penggunaan Senjata Api oleh Polisi

Jakarta – Amnesty International Indonesia mendesak reformasi peradilan militer dan evaluasi serius terhadap penggunaan senjata api oleh anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) danKepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Tuntutan itu disampaikan menyusul penembakan terhadap seorang bos rental mobil yang melibatkan anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) pada awal 2025.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan penembakan terhadap bos rental mobil oleh prajurit TNI menambah panjang daftar pelanggaran yang merampas hak hidup warga sipil. “Pembunuhan di luar hukum oleh aparat terus terjadi. Tindakan mereka jelas melanggar hak asasi manusia,” katanya dalam keterangan tertulis, Senin, 6 Januari 2025.

Tiga anggota TNI AL terlibat dalam aksi penembakan terhadap seorang bos rental mobil di rest area Tol Merak-Tangerang KM 45 pada Kamis, 2 Januari 2025. Ketiga anggota yang terlibat dalam penembakan tersebut berinisial AA, RH, dan BA.

Berdasarkan data yang dihimpun Amnesty International, sepanjang tahun 2024 terjadi 55 kasus pembunuhan di luar hukum dengan mayoritas korban tewas di tangan aparat kepolisian dan militer. Dari jumlah tersebut, 10 pelaku berasal dari TNI, 29 dari kepolisian, dan 3 lainnya melibatkan aparat gabungan.

Peristiwa penembakan pada 2 Januari 2025 lalu, menurutnya, merupakan contoh terkini kegagalan aparat dalam mengelola penggunaan senjata api secara legal. Amnesty International menuntut agar para pelaku diadili melalui pengadilan umum, bukan pengadilan militer yang dinilai tidak transparan dan cenderung tertutup.

“Pelaku harus diadili di pengadilan umum untuk memastikan proses hukum yang adil dan terbuka,” kata Usman. Ia menekankan pentingnya merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, agar pelanggaran hukum pidana umum yang dilakukan personel militer diproses sesuai amanat Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Amnesty juga mengkritik penggunaan istilah ‘ oknum ‘ yang kerap digunakan untuk merujuk pelaku dari kalangan aparat. Usman mengatakan istilah tersebut cenderung digunakan untuk menghindari tanggung jawab institusional. “Institusi harus dimintai pertanggungjawaban atas tindakan anggotanya, terutama jika senjata api digunakan untuk tindakan kriminal atau pelanggaran hak asasi manusia,” katanya.

Selain itu, Amnesty meminta agar kelalaian aparat kepolisian yang mengakibatkan jatuhnya korban dalam kasus 2 Januari 2025 tersebut mendapat perhatian serius. “Kelalaian aparat yang mengakibatkan tewasnya warga sipil harus diproses secara pidana, bukan sekadar sanksi etik,” kata Usman.

Amnesty International memperingatkan bahwa tanpa reformasi yang menyeluruh, siklus impunitas akan terus berlanjut, dan risiko pelanggaran hak asasi manusia oleh aparat akan tetap tinggi. “Keadilan sejati hanya dapat terwujud jika impunitas diakhiri, dan pelaku pelanggaran diproses secara transparan,” kata Usman Hamid.

Panglima Komando Armada Laksamana Madya TNI Denih Hendrata menyatakan kasus penembakan bos rental mobil itu masih dalam tahap penyelidikan. Proses penyelidikan tersebut bekerja sama dengan Kepolisian Daerah Banten untuk mencari titik terang dalam kasus penembakan yang melibatkan tiga anggota TNI AL tersebut.

“Kami baru saja menghadiri pemaparan perkara dari Polda Banten dan Bapak Kapolda Banten juga hadir terkait perkembangan kasus ini,” kata Denih Hendrata saat jumpa pers di Mako Armada, Jakarta Pusat, Senin, 6 Januari 2025.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *